PELITANASIONAL | TAPAKTUAN – Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) melontarkan kritik keras terhadap Pemerintah Aceh usai pembatalan tender lanjutan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away (RSUD-YA) Tapaktuan dengan pagu anggaran Rp15,9 miliar.
Keputusan tersebut dinilai mencederai akal sehat publik sekaligus menunjukkan lemahnya tata kelola anggaran di bawah kendali Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).
Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, menilai alasan pembatalan tender yang dituliskan dalam pengumuman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
“sisa waktu efektif tidak mencukupi, sebagai dalih lemah. APBA sudah disahkan sejak awal, RUP bisa disusun sejak Januari. Kalau baru di bulan September sadar waktu tidak cukup, itu bukan masalah teknis, tapi kelalaian fatal. Yang dirugikan bukan birokrasi, melainkan rakyat yang kehilangan hak atas layanan kesehatan,” tegas Fadhli, Jum’at (19/9/2025).
Ia menekankan, RSUD-YA bukan rumah sakit kabupaten biasa, melainkan rumah sakit rujukan regional untuk kawasan Barat-Selatan Aceh. Penundaan pembangunan, kata dia, berarti pasien dari Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, hingga Subulussalam harus menempuh perjalanan ratusan kilometer ke Banda Aceh.
“Setiap jarak tambahan adalah risiko tambahan. Keterlambatan pembangunan sama saja dengan menunda keselamatan manusia,” ujarnya.
Fadhli mengingatkan, aturan dalam Perpres Nomor 46 Tahun 2025 maupun Permendagri Nomor 15 Tahun 2023 secara jelas mewajibkan proses pengadaan berjalan transparan, dengan tanggung jawab penuh pada pejabat pengguna anggaran.
“Fakta bahwa tender senilai miliaran rupiah dibatalkan tanpa penjelasan substantif hanya menunjukkan rapuhnya akuntabilitas Pemerintah Aceh,” katanya.
Lebih jauh, GerPALA bahkan mengaitkan keputusan ini dengan potensi praktik tak sehat dalam pengadaan.
“Dalam literatur tata kelola pengadaan, fenomena pembatalan tanpa alasan kuat kerap terkait indikasi bid rigging atau pengaturan pemenang. Ini memperkuat dugaan ada sesuatu yang hendak ditutup-tutupi,” ujar Fadhli.
Ia juga menegaskan, dampak keterlambatan pembangunan fasilitas kesehatan jauh lebih mahal dibanding nilai proyek. Keluarga pasien menanggung beban biaya tambahan, angka kematian meningkat, dan pelayanan publik terganggu.
“Inilah biaya nyata yang harus ditanggung rakyat akibat buruknya manajemen Pemerintah Aceh,” katanya.
GerPALA menuntut Pemerintah Aceh, khususnya Sekda, membuka seluruh dokumen terkait pembatalan tender, mulai dari RUP, RKS, HPS hingga berita acara evaluasi. Mereka juga meminta Inspektorat dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) melakukan audit investigatif, serta aparat penegak hukum menindak tegas bila ditemukan maladministrasi maupun indikasi persekongkolan.
“Sekda Aceh tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan administratif. Jangan anak-tirikan wilayah Barat-Selatan, termasuk Aceh Selatan, hanya karena buruknya manajemen anggaran. Layanan kesehatan adalah hak dasar rakyat, bukan komoditas politik,” tegas Fadhli.
GerPALA juga mendesak Gubernur Aceh, Mualem, untuk tidak berdiam diri. Mereka menyinggung sikap Pemerintah Aceh yang seakan hanya mengingat suara rakyat Barat-Selatan saat Pilkada, namun mengabaikan kebutuhan vital masyarakat setelah berkuasa.
“Jika memang tak berniat membangun maksimal wilayah Barat-Selatan, lebih baik masukkan saja dalam revisi UUPA terkait pemekaran Barsela. Jangan biarkan rakyat terus menerus dianaktirikan,” pungkasnya