PELITANASIONAL.COM | Paniai — Ribuan rakyat Papua kembali menyuarakan penolakan terhadap keberadaan tambang emas Blok Wabu di Intan Jaya. Dalam aksi massa yang digelar di Nabire, para aktivis, tokoh masyarakat, dan organisasi lokal mendesak Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk, agar berpihak pada aspirasi rakyat dan bukan kepentingan elit Jakarta.
“Kami sebagai aktivis tahu persis kondisi yang terjadi di Papua. Baik itu pelanggaran HAM, isu ekosida maupun etnosida yang semakin merajalela. Maka dari itu, kami minta Gubernur Papua Tengah untuk segera membuka diri dan mendengar langsung tuntutan masyarakat. Sudah terlalu lama kepentingan rakyat diabaikan,” ujar Yulvin Mote, aktivis kemanusiaan sekaligus pimpinan Partai Bintang Timur Papua.
Aksi tersebut juga menyuarakan penolakan terhadap kehadiran PT ANTAM di Blok Wabu, Intan Jaya, yang dinilai merusak lingkungan dan mengancam keselamatan masyarakat adat. Menurut Mote, Gubernur Ribka Haluk dianggap tidak adil karena lebih mengutamakan kepentingan investor daripada melindungi tanah leluhur rakyat Papua.
Tokoh aktivis Papua, Victor Yeimo, menyatakan bahwa proyek Blok Wabu bukan sekadar tambang biasa, tetapi “ladang emas kolonial” seluas 69.118 hektare yang diincar negara melalui Perpres No. 109 Tahun 2020 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini disebut menyimpan bencana ekologis dan tragedi kemanusiaan yang telah berlangsung diam-diam.
“Tanpa persetujuan bebas dan sadar dari masyarakat adat, negara menyerahkan tanah ulayat kepada PT ANTAM dan MIND ID. Sungai, hutan, kampung adat – semua jadi lubang tambang. Intan Jaya jadi zona operasi militer. Ini bukan pembangunan, ini pengusiran,” tegas Victor.
Laporan Amnesty International (2022) dan Human Rights Monitor (2025) mencatat dampak mengerikan dari proyek ini: lebih dari 7.000 orang mengungsi, puluhan warga sipil tewas, sekolah dan layanan kesehatan lumpuh, dan wilayah Intan Jaya dijadikan zona darurat.
Para aktivis menilai proyek ini sebagai bentuk ekosida dan etnosida yang sistematis. Tanah adat dikapling tanpa persetujuan, kekayaan alam dikuras, dan rakyat dipaksa jadi pengungsi di tanah sendiri.
Yulvin Mote menambahkan bahwa solusi atas masalah ini bukanlah pemekaran wilayah (DOB) atau kehadiran korporasi tambang, melainkan pembukaan ruang dialog internasional dan referendum ulang yang adil, sebab referendum sebelumnya dianggap sepihak dan ilegal.
“Berikan kami negara baru, bukan DOB atau PT yang menghancurkan kehidupan dan moralitas rakyat Papua. Negara harus berhenti menganggap remeh persoalan Papua,” tegasnya.
Partai Bintang Timur bersama sejumlah organisasi lokal di Papua secara tegas menolak kehadiran perusahaan tambang dan pemekaran wilayah yang dianggap sebagai alat kontrol kolonial. Mereka menyerukan kepada seluruh masyarakat adat untuk memperluas perlawanan, membangun solidaritas, dan mendidik rakyat tentang dampak nyata kapitalisme di tanah Papua.
Dilaporkan oleh: Yulvin Mote (Aktivis Kemanusiaan dan Pimpinan Partai Bintang Timur Papua).