PELITANASIONAL | TAPAKTUAN – Kabupaten Aceh Selatan kini berada dalam tekanan krisis fiskal. Hingga memasuki akhir triwulan ketiga 2025, pemerintah kabupaten setempat belum juga menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Perubahan.
Padahal, dokumen tersebut menjadi instrumen hukum utama untuk menata ulang anggaran, termasuk mengakomodasi pembayaran utang daerah yang mencapai Rp184,2 miliar.
Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA), Fadhli Irman, memperingatkan bahwa tanpa APBK Perubahan, ancaman gagal bayar hanya tinggal menunggu waktu.
“Utang itu memang bukan lahir di era Bupati Mirwan MS dan Wakil Bupati Baital Mukadis. Namun, dalam hukum keuangan publik, beban melekat pada institusi, bukan individu. Tidak ada alasan untuk menunda pembayaran, meskipun harus dilakukan secara bertahap,” tegas Irman, Minggu (21/9/2025).
Menurutnya, Pemkab Aceh Selatan tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan pergeseran maupun penyesuaian anggaran tanpa APBK Perubahan. Regulasi pun jelas: UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, semuanya menegaskan pentingnya APBD Perubahan sebagai alat koreksi fiskal.
“Kalau APBK Perubahan tidak ada, maka masalah utang ini akan terus menggantung. Pergeseran anggaran tidak cukup, justru bisa menimbulkan risiko lahirnya pos-pos siluman di luar nomenklatur resmi,” ujarnya.
Keterlambatan ini dinilai akan berdampak luas pada perekonomian daerah. Kontraktor lokal berpotensi terjebak gagal bayar, tenaga kerja kehilangan upah, perputaran ekonomi melemah, hingga konsumsi rumah tangga menurun. Dalam literatur fiskal, situasi ini disebut fiscal drag, yakni ketika keterlambatan pemerintah memenuhi kewajiban justru menyeret turun pertumbuhan ekonomi.
Lebih jauh, Irman juga menyoroti kinerja Tim Anggaran Pemerintah Aceh Selatan (TAPA) yang dinilainya lemah dan cenderung bekerja dengan pola “asal bapak senang”. Ia menegaskan, langkah pertama yang harus dilakukan Bupati Mirwan adalah evaluasi total terhadap tim tersebut.
“Bupati harus berani menempatkan orang yang tepat di posisi strategis. Jika tidak, kebobrokan lama akan terus dipelihara,” kritiknya.
Kondisi Aceh Selatan kian mencolok jika dibandingkan dengan daerah lain. Pemerintah Kota Banda Aceh berhasil melunasi utang pihak ketiga senilai Rp89 miliar. Kabupaten Aceh Barat Daya di bawah kepemimpinan baru juga sudah menyelesaikan sebagian besar utang Rp58 miliar, menyisakan sekitar Rp6 miliar.
Sementara Aceh Timur memilih mekanisme pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) tiap bulan untuk membayar utang Rp73 miliar. “Publik wajar membandingkan. Kalau Banda Aceh bisa lunasi, Abdya bergerak, Aceh Timur punya skema bayar, mengapa Aceh Selatan justru membiarkan utang ini jadi bom waktu?” tanya Irman.
Ia menambahkan, dampak sosial dari stagnasi fiskal juga tak kalah serius. Jika utang tak segera dibayar, layanan publik akan tersendat, mulai dari pembangunan jalan, jembatan, hingga sektor kesehatan dan pendidikan.
“Ini bukan sekadar angka, tapi kontrak sosial pemerintah dengan rakyat. Begitu pemerintah gagal menepati janji fiskal, biaya sosial dan politik untuk memulihkannya jauh lebih mahal,” jelasnya.
GerPALA mendesak pemerintah daerah segera menyusun APBK Perubahan 2025, membuka data utang secara transparan, serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap TAPA.
“Masyarakat sudah terlalu lama menunggu. Mereka tidak butuh alasan, yang mereka butuh adalah solusi nyata,” pungkas Irman.