PELITANASIONAL | BANDA ACEH – Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) menyoroti kinerja PT Bank Aceh Syariah (BAS) usai merilis hasil analisis laporan keuangan tahun 2024.Hasil kajian itu langsung menjadi perhatian publik, terutama setelah mencuat isu investasi triliunan rupiah dana Bank Aceh ke luar daerah.
Dalam kajiannya, IDeAS membandingkan kinerja BAS dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Barat atau Bank Nagari, yang dinilai setara dari sisi aset dan indikator ekonomi lain.
Perbandingan Kinerja 2024:
Total Aset: BAS Rp31,94 triliun, Bank Nagari Rp32,95 triliun.
Dana Pihak Ketiga: BAS Rp26,21 triliun, Bank Nagari Rp26,68 triliun.
Investasi Surat Berharga: BAS Rp7 triliun, Bank Nagari Rp4 triliun.
Total Pembiayaan Nasabah: BAS Rp20,40 triliun, Bank Nagari Rp25,04 triliun.
Pembiayaan UMKM: BAS Rp2,47 triliun (12%), Bank Nagari Rp6,49 triliun (26%).
Laba Bersih: BAS Rp443 miliar, Bank Nagari Rp538 miliar.
Dari data tersebut, Bank Nagari lebih unggul dalam pembiayaan UMKM dan profitabilitas. Sementara BAS lebih banyak menempatkan dananya di surat berharga.
“Bank Nagari yang fokus ke UMKM justru mencatat laba bersih lebih besar. BAS terlalu bermain aman dengan menaruh dana di pasar sekuritas,” kata Direktur IDeAS, Munzami Hs, dalam keterangan tertulis, Senin (22/9/2025).
Menurut IDeAS, kebijakan BAS menyalurkan hanya 12 persen pembiayaan ke UMKM belum sesuai dengan Qanun LKS Aceh No.11 Tahun 2018 dan aturan Bank Indonesia yang mewajibkan minimal 20 persen. Bahkan, OJK baru-baru ini menerbitkan POJK No.19 Tahun 2025 yang kembali menekankan kemudahan akses pembiayaan untuk UMKM.
“Bank Aceh dibentuk untuk menggerakkan ekonomi masyarakat Aceh. Jadi tidak tepat jika lebih mengutamakan investasi di surat berharga ketimbang sektor riil produktif yang menyerap tenaga kerja,” tegas Munzami.
IDeAS juga menilai klarifikasi manajemen BAS soal investasi Rp7,05 triliun di surat berharga sebagai upaya menjaga likuiditas dan stabilitas fiskal serta moneter, tidak tepat. “Stabilitas fiskal itu ranah Kementerian Keuangan, sedangkan moneter ranah Bank Indonesia, bukan tugas bank daerah,” ujarnya.
Atas kondisi ini, IDeAS mendesak DPR Aceh memanggil manajemen BAS untuk memberi penjelasan publik. Selain itu, pemegang saham, termasuk Gubernur Aceh dan bupati/wali kota, diminta tidak hanya fokus pada pembagian dividen saat RUPS, tetapi juga melakukan evaluasi serius terhadap arah kebijakan BAS.
“Sejalan dengan kebijakan Presiden Prabowo, semua lembaga keuangan didorong untuk memperbesar pembiayaan sektor ritel dan UMKM. BAS harus menyesuaikan diri agar benar-benar menjadi lokomotif ekonomi rakyat Aceh,” tutup Munzami.