JAKARTA | PELITA NASIONAL — Di negeri yang konon menjunjung integritas, urusan harta pejabat sering kali berakhir seperti sandiwara sore. Ada tanya-tanya kecil tentang berapa banyak, dari mana asalnya, dan untuk siapa kekayaan itu berputar. Dan kali ini, Sri Mulyani sang Mantan Menteri Keuangan yang dikenal bersih pun tak luput dari sorotan ketika bicara soal hartanya di dalam dan luar negeri.
“Saya tidak tahu jumlahnya persis,” begitu kata Sri Mulyani dengan senyum tenang dalam sebuah wawancara. Kalimat sederhana itu mungkin terdengar biasa, tapi di telinga rakyat yang tiap hari menghitung harga beras dan elpiji, rasanya seperti ironi. Bagaimana mungkin seorang pejabat keuangan negara tak tahu pasti berapa total hartanya sendiri? Mungkin bukan tak tahu mungkin hanya tak mau dihitung di hadapan kamera.Ia menjelaskan tentang tanah warisan suami di Tangerang, cicilan rumah di Depok, dan gaji dolar semasa menjabat di IMF. Semua terdengar rapi, sistematis, dan tentu “legal”. Tapi di luar layar, rakyat kecil yang menonton cuma bisa menghela napas panjang: betapa mulusnya hidup jika punya karier di lembaga internasional tak seperti petani yang menunggu panen sambil menunggu janji.
Sri Mulyani bilang, keterbukaan soal kekayaan adalah hal yang wajar dan patut diapresiasi. Tapi di negeri yang laporan LHKPN-nya sering cuma jadi formalitas, keterbukaan kadang lebih mirip kosmetik daripada keberanian. Orang kaya memang bisa jujur, sebab mereka punya cara untuk membuat kekayaan terlihat sah. Sementara rakyat kecil? Bahkan untuk bertahan hidup, mereka harus berbohong pada diri sendiri bahwa semua ini masih bisa diperbaiki.Lucunya, ketika pejabat bicara soal “akuntabilitas”, mereka sering lupa bahwa di luar gedung kementerian, jutaan rakyat masih antre beras dan listrik subsidi. Ketika mantan menteri bicara tentang tabungan dolar, rakyat hanya bisa menabung sabar dan doa. Ironi yang terlalu indah untuk dibiarkan tanpa tawa getir.
Tentu, Sri Mulyani bukan satu-satunya. Ia hanya simbol dari wajah kekuasaan yang percaya bahwa penjelasan panjang lebar bisa menenangkan kegelisahan publik. Padahal, yang dibutuhkan bukan pidato, tapi perasaan. Rakyat ingin melihat pejabat yang hidup sederhana, bukan pejabat yang berkilau di depan kamera tapi bersembunyi di balik pasal-pasal pajak internasional.Kalau kekayaan pejabat hanya jadi tontonan, maka transparansi telah gagal. Ia berubah jadi panggung sandiwara di mana aktornya bicara tentang kejujuran, tapi naskahnya ditulis oleh kepentingan. Dan di bangku penonton, rakyat masih menunggu kapan panggung itu berhenti, dan kapan kebenaran benar-benar tampil apa adanya.
Pertanyaan tentang harta pejabat seharusnya bukan sekadar soal angka, tapi soal nurani. Karena di tengah kemewahan yang dibungkus kata “transparansi”, rakyat masih bertarung dengan kemiskinan yang tak pernah disorot kamera. Dan mungkin, di sanalah letak kemiskinan paling sejati ketika kejujuran menjadi barang mewah yang tak semua pejabat sanggup memilikinya.
Follow WhatsApp Channel pelitanasional.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow