ACEH UTARA – Waktu terus bergerak, namun kehidupan petani Aceh Utara justru berhenti. Enam hari lagi masa penetapan status darurat banjir akan berakhir, sementara bendungan yang jebol dan rusak parah sejak banjir besar 26 November 2025 belum juga diperbaiki.
Di tengah sawah yang akan mengering dan benih yang tidak bisa lagi ditanam, rakyat Aceh Utara kini berdiri di ambang bencana yang lebih dahsyat kelaparan massal.
Di Gampong Sawang, Kecamatan Sawang, Bendungan Daerah Irigasi (DI) Jamuan bendungan yang selama ini disebut petani sebagai “bendungan viral” karena menghidupi ribuan hektare sawah kini runtuh. Sayap kirinya jebol.
Air berhenti mengalir. Bersamanya, harapan petani perlahan ikut mati.
Sekitar 8.000 hektare sawah di Sawang, Muara Batu, Dewantara, Banda Baro, dan Nisam kehilangan sumber air.
Petani memilih tidak turun ke sawah karena sadar, perbaikan bendungan tidak akan selesai dalam hitungan bulan.
“Kalau air tidak ada, kami mau tanam apa? Kami hidup dari sawah, bukan dari janji,” ujar seorang petani di Kecamatan Banda Baro dengan suara bergetar.
Kerusakan tidak berhenti di DI Jamuan. DI Krueng Pase di Kecamatan Meurah Mulia Aceh Utara, yang jebol sejak 2020, hingga kini belum benar-benar selesai diperbaiki.
Ironisnya, setelah sempat direhabilitasi, bendungan itu kembali rusak diterjang banjir besar tahun ini.
DI Langkahan di Gampong Gudumbak, serta jaringan irigasi DI Krueng Keureuto dan DI Krueng Pirak, juga mengalami kerusakan berat dan pendangkalan parah.
Aceh Utara bukan kabupaten kecil. Wilayah ini dihuni oleh lebih dari 600 ribu jiwa, tersebar di 27 kecamatan, yakni: Baktiya, Baktiya Barat, Banda Baro, Cot Girek, Dewantara, Geuredong Pase, Kuta Makmur, Langkahan, Lapang, Lhoksukon, Matangkuli, Meurah Mulia, Muara Batu, Nibong, Nisam, Nisam Antara, Paya Bakong, Pirak Timu, Samudera, Seunuddon, Simpang Keramat, Syamtalira Aron, Syamtalira Bayu, Tanah Jambo Aye, Tanah Luas, dan Tanah Pasir.
Hari ini, hampir seluruh kecamatan tersebut menghadapi risiko yang sama gagal panen serentak. Dari lebih 22 ribu hektare lahan sawah Aceh Utara, ribuan hektare terancam tidak bisa ditanami.
Artinya, ratusan ribu petani dan keluarga mereka kehilangan sumber pangan dan penghasilan.
Ironisnya, rakyat Aceh Utara tidak asing dengan bencana.
Mereka masih ingat tsunami 2004. Saat itu, gelombang laut menghancurkan rumah dan keluarga, tetapi bendungan tidak jebol seperti sekarang.
Sawah masih bisa dipulihkan. Hari ini, tanpa tsunami, hanya oleh banjir berulang dan bendungan yang rapuh, sumber kehidupan petani justru hancur perlahan.
“Dulu tsunami menghancurkan segalanya, tapi kami bangkit. Sekarang bendungan jebol, kami bahkan tidak bisa memulai,” kata Abdur rafar masyarakat di Tanah Jambo Aye.
Pemerintah terus berbicara tentang ketahanan pangan nasional, swasembada, dan kedaulatan pangan.
Namun bagi rakyat Aceh Utara, ketahanan pangan bukan slogan. Ia adalah air yang mengalir ke sawah. Hari ini, air itu tidak akan ada lagi.
Dengan enam hari tersisa sebelum status darurat berakhir, masyarakat mendesak agar pemerintah memperpanjang status darurat dan menaikkannya menjadi Darurat Nasional.
Mereka khawatir, jika status berakhir, penanganan bendungan akan kembali terjebak prosedur dan birokrasi panjang seperti pengalaman pahit pascatsunami, ketika rehabilitasi dan rekonstruksi memakan waktu bertahun-tahun.
Dalam keputusasaan, rakyat Aceh Utara menyampaikan satu harapan terakhir kepada Presiden RI Prabowo Subianto. Mereka meminta Presiden turun langsung ke Aceh Utara, berdiri di tepi DI Jamuan yang runtuh, melihat sawah-sawah kering di Baktiya, Tanah Luas, Nisam, hingga Seunuddon, dan mendengar langsung jeritan petani.
“Pak Presiden, lihat sendiri kami di sini. Jangan biarkan kami belajar kelaparan di tanah kami sendiri,” ujar seorang ibu petani di Matangkuli sambil menggenggam benih padi yang tak pernah ditanam.
Aceh Utara tidak sedang meminta belas kasihan. Aceh Utara meminta kehadiran negara. Karena bila bendungan tidak segera diperbaiki dan status darurat dibiarkan berakhir, maka yang runtuh bukan hanya beton dan saluran air tetapi masa depan lebih dari 600 ribu jiwa rakyat Aceh Utara.
Dan sejarah kelak akan mencatat, rakyat sudah menangis, sudah memperingatkan. Bahkan bukan soal bendungan rakyat korban bajir masih hidup di bawah tenda bekas secara mandiri, Tinggal menunggu, apakah negara benar-benar datang sebelum semuanya terlambat.






