Jakarta (PN) – Kejaksaan Agung (Kejagung) menerapkan restorative justice di sejumlah perkara yang ditanganinya. Perkara tersebut mulai dari pencurian hingga penganiayaan.
“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 13 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (7/3/2022).
Ekspose dilakukan secara virtual dan dihadiri oleh kepala kejaksaan tinggi di berbagai daerah. Adapun 13 perkara itu di antaranya:
1. Tersangka Ramadhan alias Kana dari Cabang Kejaksaan Negeri Kapuas di Palingkau, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian;
2. Tersangka Siti Mina Ohorela Alias Mina dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
3. Tersangka Mahat bin Darlin dari Kejaksaan Negeri Kapuas, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian;
4. Tersangka Samsul Arifin bin Harun dari Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
5. Tersangka A’an Puji Utomo bin Kamadi dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian;
6. Tersangka Iskil Jamal bin Moh Holil dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
7. Tersangka Dian Putri Kumala Binti Mulyono dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun, yang disangka melanggar Pasal 310 ayat (3) Sub pasal 310 ayat (2) UU RI No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
8. Tersangka 1. Budi Iskandar alias Budi Bin Almarhum Efendi dan Tersangka 2. Ledy Darmawan alias Manjo dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan;
9. Tersangka 1. Hermansyah alias Herman, Tersangka 2. Nurhakim alias Hakim dan Tersangka 3. Suci Agusriani alias Uci dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan;
10. Tersangka Armiadi bin almarhum Rusli dari Kejaksaan Negeri Sabang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian;
11. Tersangka Pilemon Ombo dari Kejaksaan Negeri Poso, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
12. Tersangka Muhammad Halomoan Harahap dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
13. Tersangka Pendi Sianturi dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
Ada sejumlah alasan yang mendasari jaksa agung menghentikan 13 perkara ini. Berikut poin-poinnya:
• Para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum;
• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
• Pertimbangan sosiologis;
• Masyarakat merespon positif;
“Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam upaya perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal (mediasi di luar pengadilan) antara tersangka dan korban sehingga tidak perlu sampai ke persidangan,” jelas Ketut.
Ketut menyampaikan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait. Seluruhnya bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
“Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan,” ujar Ketut.
Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif, sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum.[]
Sumber : detikNews.com