PELITANASIONAL.COM | GAZA — Fajar belum lama menyapa ketika dentuman pertama mengguncang lingkungan Tuffah. Di tengah reruntuhan dan kepulan debu, tubuh-tubuh mungil ditemukan tak bernyawa, berselimut puing dan darah. Gaza kembali menangis.
Setidaknya 30 warga Palestina, termasuk anak-anak dan bayi, tewas pagi itu. Mereka tidak sedang berperang. Mereka mengantre air, berlindung di tenda, atau hanya ingin tetap hidup satu hari lagi.
Serangan juga menghantam tenda-tenda pengungsian di al-Mawasi—tempat yang oleh Israel sebelumnya disebut “zona aman.” Kini zona itu menjadi abu dan bara. Lima orang, termasuk seorang bayi, tewas terbakar di antara kain tenda yang menyala.
Rumah Sakit Nasser dan al-Shifa kewalahan. Tidak ada cukup tempat tidur, tidak cukup listrik, tidak ada ruang untuk harapan. Dokter harus memilih: siapa yang diselamatkan, siapa yang ditinggalkan.
Omda Dagmash, pasien dialisis, hanya bisa menatap kosong. “Dulu kami pulang dengan tubuh segar, sekarang kami tak tahu apakah bisa pulang.” Ia belum makan layak dalam beberapa hari, tapi ia tetap datang ke rumah sakit, berharap.
Rowaida Minyawi, perempuan lanjut usia dengan jantung lemah dan diabetes, berjuang melawan rasa putus asa. “Setelah perjalanan panjang dan mahal, kami tetap tak dapat obat. Haruskah kami mati di rumah?”
Listrik di rumah sakit dipadamkan. Alat-alat medis tak menyala. Hanya beberapa departemen yang masih hidup, sisanya gelap seperti malam tanpa bulan. Di luar bangunan rumah sakit, jenazah dibaringkan berjejer di tanah, menunggu dikuburkan atau diidentifikasi.
Hari ini, di Gaza, rumah sakit bukan lagi tempat kesembuhan. Ia telah berubah menjadi ruang duka dan penantian akan keajaiban yang tak kunjung datang.
Israel menyebut senjatanya presisi tinggi. Namun kenyataannya, darah anak-anak tetap membasahi pasir Gaza. Rudal drone berpaku senjata yang dirancang untuk menembus dan mencabik mengoyak bukan hanya tubuh, tapi harapan sebuah bangsa.
Sementara dunia diam, Gaza terus menangis dalam sunyi.
Sumber: Al Jazeera, Reuters, dan laporan lapangan.