PELITANASIONAL | TAPAKTUAN – Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem, menegaskan sikap tegas terhadap maraknya aktivitas tambang ilegal di Tanah Rencong.
Ia menginstruksikan agar seluruh alat berat segera ditarik keluar dari kawasan hutan dan menyatakan sedang menyiapkan Instruksi Gubernur terkait penertiban tambang ilegal.
Mualem menekankan, penertiban ini tidak sekadar menghentikan aktivitas ilegal, tetapi juga diarahkan agar tambang dapat dikelola secara legal oleh masyarakat dan UMKM.
Langkah tersebut disambut positif oleh Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni. Menurutnya, penertiban tambang ilegal, terutama yang menggunakan alat berat, memang mendesak dilakukan demi menyelamatkan hutan dan ekosistem. Namun, ia mengingatkan bahwa penertiban tanpa solusi justru berpotensi menimbulkan konflik baru.
“Penertiban penting, tapi jangan sampai rakyat kehilangan ruang hidupnya. Legalisasi tambang rakyat adalah solusi agar tidak ada lagi kebocoran PAD, rakyat terlindungi secara hukum, dan lingkungan bisa dikelola dengan standar yang jelas,” kata Delky.
Masalah tambang ilegal di Aceh kini berada pada level mengkhawatirkan. DPR Aceh mencatat ada sekitar 1.000 unit ekskavator yang beroperasi di hampir 450 titik tambang ilegal.
Aktivitas ini bukan hanya merusak hutan, tetapi juga melahirkan praktik rente dengan setoran “uang keamanan” yang ditaksir mencapai Rp360 miliar per tahun ke oknum tertentu.
Data Walhi Aceh menunjukkan kerusakan hutan akibat tambang emas ilegal di Aceh Barat saja mencapai 5.000 hektare dalam lima tahun terakhir. Sementara secara keseluruhan, kerusakan hutan lindung dan produksi di Aceh diperkirakan sudah menembus hampir 5.000 hektare.
Potensi kerugian ekonomi pun sangat besar. Dengan asumsi setiap ekskavator menghasilkan rata-rata 2 kilogram emas per bulan, maka 1.000 ekskavator dapat menghasilkan sekitar 24 ton emas per tahun.
Jika dikalikan harga emas rata-rata Rp1,2 miliar per kilogram, maka nilai ekonomi yang “hilang” mencapai Rp28 triliun per tahun. Bandingkan dengan penerimaan resmi Aceh dari sektor pertambangan dalam lima tahun terakhir yang hanya Rp1,58 triliun.
Delky menegaskan, ketiadaan regulasi memperlebar jurang ketidakadilan. Ribuan penambang rakyat justru dikriminalisasi, sementara perusahaan besar bebas mengantongi izin eksplorasi. Ia mendorong Gubernur Aceh segera melahirkan Qanun Pertambangan Rakyat sebagai payung hukum legalisasi tambang rakyat
Selain itu, ia meminta pemerintah menghentikan sementara pemberian izin baru kepada perusahaan tambang hingga peta wilayah pertambangan disusun secara jelas. Menurutnya, pembagian wilayah pertambangan (WIUP, WPR, dan WIUPK) harus dituntaskan agar rakyat tidak hanya menjadi penonton.
Delky juga mengusulkan skema koperasi pertambangan dengan dukungan hilirisasi melalui investasi, sejalan dengan visi Presiden RI Prabowo Subianto. Ia menilai model ini akan memberi manfaat langsung bagi masyarakat sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Ia menambahkan, setiap daerah penghasil tambang di Aceh sebaiknya membentuk BUMD khusus pertambangan. Menurutnya, model ini terbukti berhasil di Kalimantan dan Sulawesi dalam meningkatkan PAD serta memperkuat kontrol pemerintah daerah atas aktivitas pertambangan.
“Mayoritas tambang ilegal dengan alat berat bukan dikelola rakyat, melainkan pihak lain. Rakyat selama ini hanya mampu menambang secara manual. Dengan adanya legalisasi, peran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam akan lebih nyata,” tegas Delky.
Ia menilai sikap tegas Mualem bisa menjadi momentum emas untuk menata ulang sektor pertambangan Aceh.
“Kalau hanya penertiban, rakyat akan semakin terpinggirkan. Tapi kalau ada legalisasi tambang rakyat, ini akan menjadi titik balik bahwa Aceh benar-benar menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945: kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” pungkasnya.