Hari Santri Dan Konstestasi Politik

Aceh Utara (PN) – Hari Santri Nasional yang diperingati saban 22 Oktober merupakan buah janji politik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014.

Kini, jelang pemilu dan pilpres 2024, para teungku dan santri kembali menjadi idola, sama hal nya dengan pedagang di pasar maupun petani dan nelayan di pesisir. Mereka menjadi target kampanye para peserta pemilu.

petani dan nelayan di pesisir jadi simbol pendekatan peserta pemilu dalam memerhatikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat kecil.

Sementara para ulama dan santri menjadi simbol bagi para peserta pemilu sebagai kedekatan dan kepedulian mereka dengan ulama dan umat, di mana mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Ketua Ikatan santri aceh jaya (ISAJA) Tgk.Mustafa Hkz SH menilai kondisi tersebut telah menjadikan santri sebagai komoditas politik musiman.

“Dalam setiap hajatan pemilu suara kalangan teungku dan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi tingkat lokal sampai pada level nasional. Wajar karena ceruk segmen suara santri ini cukup besar dan bisa mendongkrak elektabilitas,” ujar Tgk.mustafa,

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri dimaknai sebagai orang-orang yang mendalami agama Islam atau orang saleh.

Para politisi memahami keberadaan kaum santri akan sangat memengaruhi peta politik (mapping elektoral). Oleh karena itu, sambungnya, wajar ketika para peserta pemilu, utamanya Pileg dan pilakda berlomba-lomba menyambangi pesantren dan bersilaturahmi dengan kiai untuk meminta restu.

” Secara kultural, hubungan ABU atau teungku dan santri bersifat sami’na wa atha’na. Apa yang dikatakan atau dititah Abu, maka santri sebagai murid akan manut, taat, dan patuh,” Sebutnya

ketua ISAJA itu menyatakan, Ketaatan para santri ini menjadikan pola kepemimpinan dalam pesantren menjadi paternalistik di mana pengaruh kepemimpinan (Teungku) mempunyai legitimasi dan penerimaan (acceptable) yang sangat kuat dan pemimpin dianggap sebagai pelindung yang dapat mengayomi layaknya seorang bapak terhadap anak-anaknya,

Kelompok Santri pun Berpolitik

Nyatanya kalangan santri pun sadar dan memiliki kalkulasi politik sendiri terhadap peserta pemilu yang mendatangi mereka. para santri tak akan lagi hanya mau dimobilisasi mendukung kandidat tertentu, namun diabaikan bahkan ditinggalkan kemudian. Setelah kepentingan politik selesai, selesai pula kunjungan ke pesantren dan cium tangan Abu dan teungku. Begitu mendekati pemilu, penyakit politisi kambuh lagi, dan terus berulang.

“Ibarat mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan, yang mendorong ditinggalkan.

Atas dasar itu, baik teungku dan santri kini tak bisa lagi dipandang sebagai komoditas politik. teungku dan santri dalam hal ini juga memainkan peran politiknya sendiri.

“Para Teungku juga sudah sangat berpengalaman serta lihai dalam menghadapi situasi politik yang menempatkan mereka dalam pusaran perebutan dukungan,”

Sebagaimana dimaklumi, kalangan santri telah memberikan kontribusi besar bagi negara ini, baik sebelum merdeka, maupun setelah merdeka. Oleh karena itu, sudah seharusnya para politisi mengakomodir aspirasi para santri dan berupaya untuk memberikan perhatiannya kepada pesantren sebagai penghargaan atas jasa kalangan santri dan insan pesantren yang telah banyak memberikan kontribusi untuk negeri ini.

Oleh karena itu gagasan yang ingin memberikan perhatian kepada pesantren hendaknya jangan hanya dijadikan sebagai bahan kampanye semata, akan tetapi harus benar-benar direalisasikan dalam wujud yang nyata, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan.

Penulis : Ketua Ikatan santri aceh jaya (ISAJA) Tgk.Mustafa Hkz SH

/ JANGAN LEWATKAN

/ TERPOPULER

/ ISU TERKINI

#1
#2
#3
#4
#5