PELITA NASIONAL | JAKARTA – Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim kini resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan kasus korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook. Kasus ini berawal dari program Kemendikbudristek tahun 2020–2022 yang menghabiskan anggaran Rp 9,3 triliun untuk membeli laptop bagi PAUD, SD, SMP, dan SMA.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Nurcahyo Jungkung, mengungkapkan bahwa Nadiem beberapa kali melakukan pertemuan dengan Google Indonesia sebelum proyek ini resmi dijalankan. Hasilnya, Chromebook ditetapkan sebagai platform utama pengadaan TIK Kemendikbudristek. Padahal, kajian internal kementerian sendiri menyebut laptop berbasis Chrome OS ini memiliki banyak kelemahan dan kurang efektif untuk kebutuhan pendidikan di Indonesia.
Publik pun terheran-heran, bahkan tersenyum sinis. “9 triliun untuk laptop yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada solusi,” kata seorang pakar pendidikan. Dari sisi teknologi, Chromebook memang dikenal terbatas: aplikasi yang bisa dijalankan sedikit, ketergantungan internet tinggi, dan kompatibilitas rendah dengan software lokal. Ironisnya, anak-anak di sekolah negeri di Indonesia harus belajar dengan perangkat yang nyatanya “tidak siap pakai” untuk konteks pendidikan lokal.
Kasus ini memperlihatkan paradoks: proyek yang seharusnya memberdayakan generasi muda, justru berpotensi menjadi ladang konflik kepentingan dan pemborosan anggaran publik. Publik bertanya-tanya, apakah ini langkah inovatif atau hanya “sandiwara pendidikan” yang membungkus bisnis teknologi internasional?
Di tengah sorotan keras ini, Nadiem kini harus menghadapi tuduhan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, rakyat kecil, guru, dan siswa tetap menatap layar Chromebook yang terkadang “lebih banyak bikin bingung daripada belajar”.
Sungguh, Rp 9,3 triliun bisa membeli ribuan perpustakaan, laboratorium, atau laptop lokal yang kompatibel. Namun kenyataannya, proyek ini justru menjadi simbol “inovasi tanpa akal sehat”.