ACEH | PELITA NASIONAL — Persatuan Wartawan Online (PWO) Aceh Utara mengecam keras dugaan perampasan telepon genggam serta intimidasi terhadap wartawan saat meliput aksi damai di Aceh Utara, Kamis (25/12/2025). Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk penghalangan kerja jurnalistik dan ancaman serius terhadap kebebasan pers.
Insiden itu dialami Muhammad Fazil, Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe, ketika sedang menjalankan tugas jurnalistik meliput aksi damai di depan Kantor Bupati Aceh Utara, Landing, Lhoksukon. Aksi tersebut digelar untuk mendesak pemerintah pusat menetapkan status bencana nasional atas banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera, termasuk Aceh.
Saat melakukan peliputan, Fazil merekam situasi di lapangan, termasuk dugaan tindakan aparat terhadap peserta aksi. Namun, seorang oknum anggota TNI diduga mendatanginya dan meminta agar rekaman tersebut dihapus.
Meski telah dijelaskan bahwa dokumentasi tersebut merupakan bagian dari kerja jurnalistik dan belum dipublikasikan, tekanan terhadap Fazil dilaporkan terus berlanjut. Tidak lama kemudian, oknum anggota TNI lainnya yang diketahui bernama Praka Junaidi kembali mendatangi Fazil dan diduga berupaya merampas telepon genggam yang digunakan untuk bekerja.
Bahkan, Fazil disebut menerima ancaman bahwa perangkat tersebut akan dirusak apabila rekaman tidak dihapus. Akibat insiden tarik-menarik, telepon genggam milik Fazil dilaporkan mengalami kerusakan dan tidak dapat difungsikan.
Ketua PWO Aceh Utara, Marzuki, menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum. Menurutnya, aparat keamanan seharusnya memahami dan menghormati peran pers sebagai pilar demokrasi.
“Perampasan alat kerja wartawan dan pemaksaan penghapusan rekaman adalah bentuk nyata penghalangan kerja jurnalistik. Ini mencederai kebebasan pers dan tidak boleh terjadi di negara demokratis,” tegas Marzuki, Jumat (26/12/2025).
Marzuki menjelaskan, jika dugaan tersebut terbukti, oknum anggota TNI yang terlibat dapat dikenai sanksi berlapis, mulai dari sanksi disiplin militer hingga pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, prajurit TNI yang melakukan pelanggaran dapat dijatuhi hukuman disiplin, penahanan, penundaan kenaikan pangkat, hingga pencopotan jabatan.
Selain itu, apabila terdapat unsur perampasan, kekerasan, atau pengrusakan barang milik wartawan, pelaku juga dapat diproses pidana sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui mekanisme peradilan militer.
Ia menambahkan, tindakan perampasan alat kerja wartawan dan pemaksaan penghapusan rekaman juga berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
PWO Aceh Utara mendesak Pangdam Iskandar Muda untuk segera melakukan pemeriksaan menyeluruh dan memberikan sanksi tegas kepada oknum yang terlibat sesuai ketentuan hukum dan disiplin militer yang berlaku.
Selain itu, PWO juga meminta adanya jaminan keamanan bagi wartawan agar dapat menjalankan tugas secara profesional tanpa intimidasi maupun kekerasan.
“Pers bekerja untuk kepentingan publik. Kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan adalah ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi hukum,” pungkas Marzuki.






