Aceh Utara – Banjir bandang yang menerjang 27 kecamatan di Kabupaten Aceh Utara meninggalkan pemandangan yang memilukan. Lumpur setebal hampir satu setengah meter menutupi jalan dan pemukiman, rumah-rumah roboh rata dengan tanah, serta gelondongan kayu berserakan di mana-mana.
Banyak warga kini terisolasi, kesulitan mengakses komunikasi, bahkan untuk sekadar keluar dari rumah atau mencari bantuan.
Di tengah kehancuran itu, dua jurnalis, Chairul Sya’ban (Nusantana TV) dan Saiful Bahri (Puja TV), menembus medan berat untuk meliput kondisi warga secara langsung.
Mereka bukan hanya membawa kamera dan catatan liputan, tetapi juga keberanian, kepedulian, dan hati yang ingin menyentuh kehidupan nyata di lapangan.
Pada Jumat (5/12/2025), Chairul dan Saiful tiba di Desa Lubok Pusaka, Kecamatan Langkahan, salah satu desa yang paling parah terdampak. Akses menuju desa itu nyaris tertutup total oleh lumpur, sehingga kendaraan tidak bisa melintas.
Satu-satunya jalan adalah jalan setapak yang licin, hanya bisa dilalui dengan sepatu boots. Di Dusun Tanah Merah, salah satu dusun terdampak, Chairul tampak terdiam sejenak saat matanya menatap masjid yang hampir tersapu air.
Suasana hening menyelimuti, hanya terdengar suara langkah kaki di atas lumpur dan sesekali suara ranting patah di bawah kaki.
“Mesjidnya tinggi, tapi debit air nyaris membasahi kubah masjid itu. Banyak rumah warga yang rata dengan tanah, mereka kehilangan tempat tinggal. Saya dan tim melihat langsung bagaimana kondisi warga di sana sangat memprihatinkan,” ujar Chairul, suaranya berat oleh kesedihan.

Chairul dan Saiful tidak hanya merekam mereka turut membantu warga. Chairul terlihat membantu mengevakuasi sepeda motor yang terbenam lumpur, tangannya kotor, bajunya basah dan penuh lumpur, namun senyum dan semangatnya tetap hadir untuk memberi dorongan kepada warga yang kelelahan.
Di hari ke-10 pasca-bencana, Chairul berhasil memasuki Desa Geudumbak, masih di Kecamatan Langkahan. Di sana, matanya tertuju pada sebuah mobil yang terbawa arus banjir hingga masuk ke ruko warga.
“Dahsyatnya air bah yang terjadi Rabu di akhir November lalu membawa kendaraan-kendaraan itu,” katanya, mencoba menggambarkan kekuatan alam yang menghancurkan kehidupan sehari-hari.
Di antara puing dan lumpur, Chairul dan Saiful menyaksikan anak-anak yang kehilangan sekolah sementara, warga lanjut usia yang berjuang membersihkan sisa rumah mereka, dan keluarga yang mengungsi ke tempat yang lebih aman dengan membawa hanya pakaian seadanya.
Momen-momen itu membuat mereka sadar bahwa liputan bukan hanya soal berita, tetapi tentang menyampaikan kondisi manusia yang membutuhkan perhatian dunia.
Setiap sudut desa bercerita: rumah rata dengan tanah, makanan yang terbatas, air bersih sulit diperoleh, dan trauma yang membekas di mata setiap warga. Namun di balik itu semua, semangat saling membantu tetap hidup.
Warga saling bergandengan tangan, menyingkirkan puing, membersihkan lumpur, dan mendukung tetangga yang kehilangan segalanya.
Keberanian Chairul dan Saiful menunjukkan bahwa jurnalis bukan hanya pencatat fakta, tetapi juga hadir sebagai saksi hidup yang memberi perhatian nyata. Mereka mengingatkan kita bahwa di balik angka statistik, ada manusia yang menderita, ada keluarga yang kehilangan rumah, dan ada harapan yang masih dapat dibangun.
Banjir mungkin menutup jalan, merusak rumah, dan menghancurkan harta benda, namun semangat warga yang bertahan, serta jurnalis yang berani hadir di tengah mereka, menunjukkan satu halkemanusiaan akan selalu menemukan jalannya.

Chairul menatap masjid yang berdiri tegak di tengah lumpur dan berkata lirih, “Di sinilah kita belajar, bahwa meski dunia hancur di sekitar, manusia tetap bisa saling menolong dan memberi harapan.”
Di balik puing dan lumpur, cerita-cerita kecil tentang keberanian, kepedulian, dan harapan terus hidup. Dan di sanalah tugas jurnalis bukan hanya melaporkan bencana, tetapi juga menyalakan cahaya kemanusiaan yang tetap menyala meski badai menutup jalan.






