Bener Meriah – Rakyat Kabupaten Bener Meriah sudah dihantam banjir bandang dan longsor, kini mereka harus menghadapi “bencana baru” harga kebutuhan pokok yang meroket tak terkendali.
Gas elpiji 3 kilogram, yang seharusnya dibanderol Rp 25 ribu, kini dijual Rp 150–170 ribu per tabung.
Fenomena ini menegaskan bahwa bencana di daerah ini tidak hanya soal alam, tapi juga soal kelangkaan dan ketidakadilan ekonomi.
Ironisnya, saat rakyat tertekan oleh harga melonjak, harga hasil pertanian justru anjlok.
Cabai dan tomat petani dijual murah, sedangkan gas melon melambung. Rakyat penghasil kopi arabika ini semakin terjepit, seolah dipaksa memilih antara makan dan memasak.
Aini, seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Bukit, menegaskan, “Kami korban bencana, seharusnya mendapat perhatian.
Tapi kenyataannya harga kebutuhan pokok selangit, kami seperti dijadikan sapi perahan di tengah musibah.”
Pemerintah daerah, yang mengaku memberikan subsidi angkutan logistik, sepertinya hanya piawai membuat klaim di media.
Nyatanya, rakyat tetap menanggung beban harga fantastis. Apakah subsidi itu hanya untuk foto-foto dan liputan media, sementara rakyat tetap menderita?
Pedagang dadakan di Simpang Tiga Redelong pun tampak “bebas” menjual gas seharga Rp 150–170 ribu.
Kontrol harga? Keberpihakan pada rakyat? Sepertinya konsep itu hanya hadir di papan kebijakan, bukan di kenyataan.
Bencana alam saja sudah cukup menghantam. Jangan sampai bencana ekonomi yang diciptakan sendiri menambah penderitaan rakyat.
Warga menuntut aksi nyata kontrol harga, jaminan pasokan, dan perhatian sungguh-sungguh, bukan sekadar klaim manis di media.






